Kebijakan perdagangan agresif yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang pasar global. Salah satu kebijakan terbarunya adalah pemberlakuan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara yang memiliki defisit perdagangan dengan AS, termasuk Indonesia.
Indonesia terkena dampak dengan tarif impor baru yang mencapai 32 persen, menyusul defisit perdagangan Indonesia-AS yang tercatat sebesar USD14,34 miliar pada tahun 2024.
Menanggapi kebijakan tersebut, Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan kebijakan pengamanan pasar domestik, terutama melalui percepatan kebijakan Non-Tariff Measure (NTM) atau Non-Tariff Barrier (NTB).
Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman, menyampaikan bahwa pemerintah perlu segera merealisasikan revisi Permendag No 8 Tahun 2024, menerapkan kebijakan entry point pelabuhan, serta memperluas penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Kebijakan-kebijakan ini sangat krusial sebagai bentuk manajemen risiko. Tujuannya adalah menjaga pasar dalam negeri agar tidak dibanjiri produk impor, terutama dari negara yang kehilangan akses pasar akibat kebijakan bea masuk AS,” jelas Daniel dalam pernyataan resminya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Indonesia Berisiko Jadi Sasaran Impor Global
Daniel menambahkan bahwa Indonesia dengan populasi besar dan daya beli yang tinggi akan menjadi target utama ekspor negara-negara yang terdampak oleh tarif impor AS.
“Kami khawatir jika tidak segera ada tindakan, pasar domestik akan dikuasai produk asing. Ini tidak hanya merugikan pelaku industri lokal, tapi juga berisiko terhadap kelangsungan ekspor Indonesia ke AS,” tambahnya.
Gabel juga menegaskan bahwa kebijakan TKDN yang selama ini sudah diterapkan harus tetap dipertahankan, bahkan diperkuat. Menurut Daniel, TKDN telah menjadi salah satu instrumen yang sangat efektif dalam meningkatkan permintaan terhadap produk dalam negeri, khususnya dari pengadaan barang pemerintah.
“TKDN memberi kepastian terhadap investasi serta menciptakan lapangan kerja yang luas. Jika kebijakan ini dilonggarkan, maka akan berdampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan kepercayaan investor terhadap Indonesia,” ungkapnya.
Dorongan untuk Sikap Tegas Pemerintah
Lebih jauh, Gabel mendorong agar Indonesia merespons kebijakan tarif AS dengan sikap yang tegas dan terukur, termasuk kemungkinan penerapan tarif balasan terhadap produk dari negara tersebut.
“Kami memahami bahwa kebijakan NTM dan NTB bukanlah balasan langsung terhadap tarif AS. Namun, ini adalah mekanisme sah yang digunakan oleh banyak negara untuk melindungi pasar dalam negeri,” ujar Daniel.
Menurutnya, kebijakan semacam ini tidak perlu menunggu tindakan dari negara lain, karena sudah menjadi praktik umum secara global dalam menjaga kepentingan industri nasional.
Bahkan secara satir, Daniel menyarankan agar Indonesia memberlakukan tarif 0 persen terhadap produk manufaktur asal AS.
“Daya saing produk manufaktur AS saat ini tidak jauh lebih baik dibandingkan produk dalam negeri maupun produk dari negara pesaingnya. Justru dengan tarif 0 persen, akan terlihat bahwa produk mereka tidak kompetitif,” tutupnya.
Kesimpulan
Dengan adanya tekanan eksternal berupa kebijakan tarif impor dari AS, pelaku industri elektronik dalam negeri mendesak pemerintah untuk mempercepat dan memperkuat kebijakan-kebijakan perlindungan industri nasional. Percepatan revisi regulasi, penguatan TKDN, dan penerapan NTM/NTB dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan industri dan menghadapi gempuran produk impor akibat perang dagang global.