Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menerbitkan aturan pelarangan operasional angkutan barang atau truk selama masa mudik dan arus balik Lebaran 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta kelancaran lalu lintas selama periode tersebut.
Namun, kebijakan ini menuai protes dari kalangan pengusaha. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) berencana menggelar aksi mogok nasional sebagai bentuk penolakan.
Dampak Serius bagi Dunia Usaha
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, menilai kebijakan pelarangan operasional truk selama periode mudik dan balik Lebaran 2025 dapat berdampak negatif bagi industri.
“Kami melihat kebijakan ini sangat merugikan dunia usaha, terutama dalam proses produksi. Larangan ini akan mengganggu produktivitas dan efisiensi industri,” ujar Edy Suyanto di Jakarta (18/3).
Menurutnya, jika aturan ini diberlakukan dari 24 Maret hingga 7 April 2025—ditambah dengan rencana mogok massal pengusaha truk mulai 20 Maret 2025—maka industri terpaksa menghentikan produksi hingga 20 hari penuh.
“Artinya, kami terpaksa menutup pabrik selama 20 hari karena bahan baku tidak bisa dikirim. Jika produksi berhenti, nasib karyawan bagaimana? Haruskah mereka dirumahkan?” paparnya.
Asaki meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan ini dan mencari solusi yang tidak merugikan dunia usaha. Ia mengusulkan agar pembatasan operasional truk tetap mengikuti pola tahun-tahun sebelumnya, yakni 4 hari sebelum dan 4 hari sesudah Lebaran, yang dinilai lebih realistis dan bisa dikelola oleh industri.
“Jika hanya 4 hari sebelum dan sesudah Lebaran, kami masih bisa mengatur strategi produksi. Tapi jika berlangsung hampir tiga minggu, ini sudah di luar kendali kami,” tegas Edy.
Industri Gelas Kaca Terancam Lumpuh
Senada dengan Asaki, Ketua Umum Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI), Henry Sutanto, juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Menurutnya, pelarangan operasional truk dalam waktu lama akan sangat berdampak pada industri gelas kaca.
“Industri gelas kaca membutuhkan temperatur yang sangat tinggi. Jika produksi berhenti, kami butuh waktu 21 hari untuk memanaskan kembali tungku dari 0 hingga 1.600 derajat Celsius. Jadi, menghentikan produksi bukan pilihan yang mudah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa mayoritas industri gelas di Indonesia menggunakan sistem Continuous Furnace, yang berarti pabrik tidak bisa berhenti beroperasi.
“Kami memproduksi minimal 100-200 ton gelas per hari, sementara untuk botol bisa lebih dari 200 ton per hari. Setiap mobil angkut membawa 30 ton, artinya kami butuh setidaknya 7 truk setiap hari. Kalau transportasi dilarang, bagaimana mungkin kami bisa berproduksi?” ungkapnya.
Harapan Pengusaha: Solusi yang Lebih Realistis
Henry berharap pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan, dapat mempertimbangkan solusi yang lebih baik agar industri tetap bisa berjalan tanpa mengganggu kelancaran arus mudik.
Para pengusaha menekankan bahwa meskipun memahami pentingnya pengaturan lalu lintas selama Lebaran, kebijakan ini harus dibuat dengan mempertimbangkan keberlanjutan industri dan ekonomi nasional.
Dengan adanya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha, diharapkan kebijakan yang diambil dapat menjadi solusi win-win bagi semua pihak.